Setelah tiba di Bandara Soekano-Hatta, saya putuskan gunakan
jasa taksi blue bird untuk pulang ke rumah, di Kedoya, Jakarta Barat. Hampir
setengah jam lebih menunggu, saya baru bisa masuk ke taksi berlogo burung elang
itu. Sambutan ramah langsung saya terima setelah duduk di dalam mobil.
“Selamat malam, bapak mau di antar kemana,” ucap supir
dengan ramah, “Ke Kedoya,” jawab saya.
Awal yang baik, mungkin ini imbas perbaikan citra blue bird setelah
demonstrasi besar-besaran supir taksi konvensional pada 22/07/2016.
Seperti ramai diberitakan media massa Indonesia saat itu,
demonstrasi besar-besaran tersebut tak hanya melibatkan sopir taksi tapi juga
seluruh awak kendaraan umum konvensional.
Pemicunya karena kehadiran layanan transportasi berbasis aplikasi seperti, uber, grabcar, dan gojek yang lebih popular digunakan masyarakat.
Pemicunya karena kehadiran layanan transportasi berbasis aplikasi seperti, uber, grabcar, dan gojek yang lebih popular digunakan masyarakat.
Dampaknya penghasilan para awak transportasi umum
konvensional turun drastis, termasuk juga omzet perusahaan kendaraan umum
konvensional.
Dalam demonstrasi itu terlihat beberapa supir taksi blue
bird bertindak anarkis. Ada yang memberhentikan pengendara gojek lalu menganiayanya.
Mereka juga memberhentikan taksi blue bird lain yang tak ikut demonstrasi,
memaksa penumpang turun, dan mengajak supir itu untuk ikut berunjuk rasa.
Aksi brutal para supir taksi blue bird disiarkan langsung stasiun televisi Indonesia. Tak
butuh waktu lama para pengguna internet langsung ramai-ramai mencibir taksi
blue bird. Citra grup taksi berawana biru itupun seakan runtuh pada saat itu.
Mungkinkah keramahtamahan supir taksi yang mengantarkan saya
pulang ke rumah, adalah salah satu cara untuk memperbaiki citra blue bird yang
sudah tercoreng?
Saya lalu mencoba berbincang lebih jauh dengan sang supir, sebut
saja “Andi”. Dari hasil obrolan itu terdapat fakta betapa mengenaskannya nasib supir
taksi blue bird.
Mereka harus mengejar setoran Rp 1.200.000/ hari, sementara
biaya operasional taksi seperti bensin dan tol di tanggung supir.
“Percaya gak percaya saya mulai mencari penumpang mulai dari
pukul 3 pagi. Sampai sekarang baru dapat Rp 600.000-an, padahal saat ini sudah
sekitar pukul 20.00 WIB,” ujarnya dengan getir.
Berbeda dengan teman-temannya Andi tidak ikut demonstrasi karena
sedang kena musibah –jatuh dari atas genteng. Menurutnya percuma saja
demonstrasi karena tidak akan menghasilkan apa-apa.
Andi bahkan mengatakan kalau dirinya sudah tidak punya
pilihan lain karena sudah terlilit utang perusahaan.
“Saya mau keluar dari perusahaan juga susah, karena jika berhenti
saya harus membayar hutang 17 juta kepada perusahaan, “kata Andi
Hutang tersebut adalah akumulasi dari jumlah uang setoran
yang kurang selama ia menjadi supir taksi blue bird.
Jika bagi hasil di uber dan grabcar sangat
menguntungkan supir dengan persentasi 80 persen untuk supir, dan 20 persen perusahaan
aplikasi. Nasib mengenaskan justru harus ditanggung supir taksi.
Mereka hanya dapat 10 persen dari argo setiap penumpangnya.
Misalkan ada penumpang bayar ongkos taksi Rp 500.000 maka supir taksi hanya
mendapat Rp 50.000.
“Yang diberitakan koran-koran tentang penghasilan supir
taksi itu benar mas, kita hanya dapat sepuluh persen saja,” ujar Andi.
Dari obrolan tersebut tergambar betapa tertekannya supir
taksi khususnya blue bird. Pembagian hasil yang tidak berprikeadilan dan
setoran tinggi, membuat mereka tidak tahu harus berbuat apa-apa.
Namun sebenarnya bukan hanya nasib sopir yang terancam. Perusahaan
taksi konvensionalpun hanya tinggal menunggu waktu saja untuk hancur jika tidak
berubah.